“Nak, ijazah Sarjana itu ibarat bungkus kacang kulit yang ada di penjual-penjual di pasar. Kalau cuma kertasnya, sudah sangat banyak yang punya.” Pesan seorang petani sarjana ekonomi. Namanya Abdul Muis S.E. Tidak asing dengan namanya? Yap, beliau adalah bapakku.
Segala yang kamu lihat dalam diri dan hidup Shofwan adalah hasil dari bertani. Entah jagung, kakao atau sawit. Karenanya lah petani adalah profesi yang aku menaruh hormat yang tinggi. Terlebih jagoan dan panutanku sendiri yaitu bapak adalah seorang petani.
Status sebagai sarjana tak membuatnya minder atau enggan menjadi petani. Justru itu menjadi penyemangat bagi dirinya. Karena di kampung, dia berbeda dengan petani-petani lainnya.
Indonesia butuh banyak sarjana di kebun-kebun. Jangan karena pendidikan makin tinggi, membuat kita makin enggan turun ke lapangan. Sarjana itu tidak melulu tentang ilmu penerapannya ketika di dunia nyata nanti. Tapi juga tentang kerunutan berpikir. Bayangkan, pasti berbeda petani sarjana dan bukan
Indonesia butuh banyak sarjana di kebun-kebun di ladang-ladang untuk bisa menerapkan ilmunya. Bukan di meja-meja teller yang ada di bank-bank. Mohon maaf jika aku harus mengucapkan ini. Ini yang disampaikan bapakku.
Namun dulu ketika aku meminta ijin mengambil kuliah pertanian, beliau menolak. Beliau tetap gak mau anaknya jadi petani. Wakakak… Hmmm di situ kadang saya merasa bingung. Tapi gak papa. Katanya, berkebun bisa dipelajari. Tapi keberjalanan berproses, pembentukan pola dan kerunutan pikir itu yang penting. Hehe
Sebenarnya, inti dari tulisan ini adalah aku lagi kangen dengan petani sarjanaku yang di sana. Bapak sayang. Abdul Muis S.E
Maafkan kepada kamu yang sudah membaca dengan terlalu serius.